Beranda | Artikel
Hak Allah Sangat Besar atas Hamba-Hamba-Nya
Rabu, 9 Oktober 2024

Hak Allah Sangat Besar atas Hamba-Hamba-Nya merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Washaya wa Taujihat Fi Fiqhi at-Ta’abbud Li Rabbi al-Bariyyat. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 8 Oktober 2024 M.

Kajian Tentang Hak Allah Sangat Besar atas Hamba-Hamba-Nya

Pada kesempatan kajian kali ini, insyaAllah kita akan berpindah kepada renungan yang ketiga. Renungan ini adalah bahwa sebaik apa pun kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tidak akan mampu menunaikan hak besar Allah atas hamba-hamba-Nya.

Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat besar. Dia memiliki hak untuk diibadahi dan ditaati oleh hamba-hamba-Nya, karena Dialah yang menciptakan kita, memberikan rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Semua urusan kita berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-Nya sangat besar, sementara kita memiliki kewajiban yang besar kepada-Nya.

Namun, setinggi apa pun ilmu kita, tidak akan mampu memberikan hak pengenalan kepada Allah. Demikian juga, sebaik apa pun amalan kita, tidak akan mampu memenuhi hak besar Allah atas kita.

Kelemahan kita ini datang dari dua sisi: ilmu dan amal. Dari sisi ilmu, kita tidak akan pernah bisa memahami atau mengenal kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Ada banyak sifat dan sisi-sisi kesempurnaan Allah yang tidak dapat kita pahami dengan baik.

Demikian juga dari sisi amal. Sebaik apa pun ibadah dan amalan yang kita lakukan, itu tidak akan cukup untuk memenuhi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya.

Dalam sebuah ayat di Surah Al-Hajj, ayat ke-74, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 74)

Ayat ini mengandung pesan agung yang diuraikan oleh al-Hafiz Ibnu Katsir raḥimahullāh. Saat menafsirkan ayat tersebut, beliau menyatakan bahwa orang-orang musyrik tidak mengenal kedudukan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Ini terjadi ketika mereka menyembah selain Allah, berupa sesembahan-sesembahan yang bahkan tidak bisa membela diri dari serangan lalat. Sesembahan itu sangat lemah dan kerdil, namun mereka tetap menyembahnya bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perbuatan ini merupakan bentuk kemusyrikan dalam uluhiyah yang cukup untuk membuat mereka dikafirkan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam, meskipun mereka juga menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena mereka masih menyembah tuhan-tuhan selain Allah, perbuatan ini termasuk syirik akbar, yang mengeluarkan mereka dari Islam dan membuat mereka tidak dianggap sebagai bagian dari umat Islam.

Ayat ini berbicara tentang orang-orang musyrik yang tidak mengenal Allah sebagaimana mestinya. Mereka tidak mengetahui kedudukan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar. Jika mereka mengenal kesempurnaan, ketinggian kedudukan, dan keagungan Allah, mereka tidak akan menyembah selain-Nya.

Namun, kenyataannya mereka masih menyembah selain Allah, yaitu sesembahan-sesembahan yang lemah, padahal Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal Allah dengan baik, tidak memahami kedudukan-Nya yang tinggi, dan tidak mengenal keagungan-Nya sebagaimana mestinya. Ini adalah sifat orang-orang musyrik.

Kemudian, dalam ayat lain, yaitu Surah Az-Zumar ayat 67, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan redaksi yang mirip, namun terdapat tambahan huruf “و” pada awal ayat tersebut:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ…

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya” (QS. Az-Zumar [39]: 67)

Ayat ini merupakan penegasan dari Surah Al-Hajj ayat 74. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada tambahan huruf “و” di awal Surah Az-Zumar.

Mujahid bin Jabr Al-Makki rahimahullah berkata bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang Quraisy yang menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyekutukan-Nya dengan sesembahan lain. As-Suddi rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah orang-orang Quraisy dan kaum musyrik tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya.

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah juga menafsirkan bahwa orang-orang musyrik tidak memberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kedudukan yang seharusnya ketika mereka masih beribadah kepada selain-Nya. Meskipun mereka menyembah Allah, mereka juga menyembah selain Allah. Orang-orang musyrik ini bukan berarti tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka mengenal-Nya dan menganggap-Nya sebagai Tuhan yang paling tinggi. Namun, mereka tetap menyembah sesembahan lain yang mereka ketahui lemah dan lebih rendah dibandingkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah yang menjadikan kemusyrikan sebagai dosa besar dalam Islam, bahkan dosa yang paling akbar, karena mengandung perbuatan yang sangat buruk, tidak logis, dan melanggar inti ajaran agama Islam. Mereka mengenal Allah dan menganggap-Nya sebagai Tuhan yang paling tinggi, tetapi tetap menyembah selain Allah, baik itu berupa pohon-pohon, patung-patung, malaikat, jin, para nabi, atau orang-orang shalih yang mereka sembah bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian Hak Allah Sangat Besar atas Hamba-Hamba-Nya


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54561-hak-allah-sangat-besar-atas-hamba-hamba-nya/